10 Jan 2011

Bolehkah Wanita Menyatakan Cinta Menurut Islam

Iskandar al-Warisy
Buletin Ulul Albab No.26/Th.III/oktober 1992

Dari Sabl bin Sad As-SA’idi:”Rasululllah ! saya datang, datang untuk menghibabkan( menyerahkan diri untuk dijadikan istri) diri kepada paduka tuan”. Lalu Rasul melihat kepadanya yaitu ia naikkan pandangan dan ia tepatkannya. Kemudian Rasulullah SAW tundukkan pandangan. Maka tatkala perempuan itu memandang bahwa ia tidak putuskan apa-apa tentangnya, duduklah ia, lalu berdiri seorang sahabatnya dan berkata:”Ya Rasulullah, jika paduka tidak punya hajat kepadanya, maka nikahkanlah saya dengannya”. (kemudian Rasul menikahkannya). (H.R Bukhari dan muslim) tertulis dalam kitab Bulughul Maram.
Dari hadits lain juga dikisahkan bahwa Umar bin Khattab pernah meminta kesediaan Abu, Bakar, Ali agar bersedia menikahi anaknya. Ali secara tegas menolaknya, sedangkan Abu Bakar tidak menjawab, karena beliau mengetahui bahwa Rasulullah berkenan kepada putri Umar.
Dari peristiwa itu dapat kita jadikan hujjah bahwa, islam tidak melarang seorang wanita menyatakan rasa cinta kepada seorang laki-laki, atau seorang ayah mencarikan jodoh untuk putrinya. apabila islam melarang seorang wanita menyatakan cinta kepada laki-laki niscaya Rasul akan memberikan teguran kepada wanita yang menghibahkan diri padanya. Mungkin ada orang yang memandang bahwa hal itu hanya berlaku pada diri Rasul atau pimpinan sentral, bukan dari nilai kelaki-lakiannya, tentu pandangan tersebut tidak benar karena Rasul tidak mengucapkan adanya perbedaan pada peristiwa tersebut.
Hikmah Keterbukaan
Dipandang dari sudut hikmahnya, keterbukaan ini lebih baik dari sifat ketertutupan, karena gejala cinta yang tumbuh dari lubuk hati manusia, tidak terikat dari perbedaan jenis kelamin, setiap dia yang memiliki perasaan pasti dia akan menemukan pengalaman cinta, sebagaimana definisi cinta ialah seorang yang memiliki pengalaman kenikmatan atau keenakan terhadap sesuatu yang telah memberikan pengalaman kenikmatan tersebut. Kemudian timbullah pada diri orang tersebut kerinduan atau keinginan untuk mengulang bahkan memilikinya. Pengungkapan kesukaan seseorang terhadap sesuatu itulah yang dinamakan cinta. Sedangkan yang dicintai bisa berupa makanan, keluarga, orang tua, bangsa/negara, ajaran allah atau orang orang lain. Kebalikan dari cinta ialah kebencian, obyek yang dibenci sama dengan obyek yang dicinta. Hanya berbeda dalam penyikapannya saja. Seseorang yang telah jatuh cinta, baik laki-laki ataupun wanita, secara prinsip ia harus menyampaikan perasaanya terhadap orang yang dicintai, mengenai tekniknya bisa langsung atau tidak langsung. Mengenai waktunya tergantung pada kondisi yang yang dipandang oleh para pelaku cinta. Apabila hal ini disampaikan hanya karena pertimbangan budaya, sungkan atau karena kebodohan, tidak bersedia mengutarakan cinta, akhirnya mereka menemukan kegagalan. Pelariannya meraka memilih orang-orang yang tidak dicintai, hanya sekedar memenuhi panggilan perkawinan daja, sikap ini banyak berpengaruh pada kebahagiaan rumah tangganya.



Subyek Keterbukaan
Masyarakat pada umumnya telah menempatkan figur laki-laki adalah subyek keterbukaan dalam mengutarakan perasaan cinta, sedangkan wanita adalah figur ketertutupan, bahkan dalam budaya tertentu memandang sebagai perbuatan yang haram dan nista apabila wanita mengutarakan perasaan cinta.
Menurut teori nilai dalam masyarakat senantiasa bertitik tolak pada realitas. sebagai contoh orang yang belajar merupakan tindakan positif, karena didasari realitas bahwa hasil belajar dapat memberikan pengetahuan sedangkan pengetahuan dapat dijadikan dasar pemecahan masalah dalam kehidupan. Dalam kondisi sekarang ini bisa menempati kedudukan penting dan mendatangkan materi. Tapi pada kedudukan tertentu, aktifitas belajar tidak membawa kebaikan, apabila mereka dalam keadaan sakit atau pada masa perang, atau rumahnya terjadi kebakaran masih memaksakan untuk belajar merupakan tindakan bunuh diri.
Pada kondisi tertentu dapat menempatkan laki-laki sebagai figur keterbukaan dalam mengutarakan cinta, karena pertimbangan-pertimbangan tertentu baik menyangkut budaya atau fisiologi. Tapi hendaknya tidak menutup kemungkinan adanya perubahan, bilamana terjadi perubahan sosial yang dapat dipandang secara alamiah mendorong keagresifan seorang wanita untuk mengutarakan cinta. Perubahan alamiah yang dapat mendorong wanita berperilaku agresif misalnya, ada 2 keadaan yaitu:
1. Apabila keadaan jumlah wanita lebih banyak dari jumlah laki-laki, keadaan itu sering terjadi setelah selesainya perang, dimana laki-laki dalam suatu bangsa banyak yang tewas. Pada waktu nilai laki-laki sangat tinggi sehingga persaingan alamiah dalam mendapatkan laki-laki besar, disini tuntutan alam akan merobek kebudayaan sebelumnya.
2. Dalam mesyarakat liberalisme, yang sampai tahap tertentu, banyak perusahaan-perusahaan yang diduduki wanita. Akibatnya laki-laki tidak berani menikah, sedangkan yang bekerja sangat sedikit. Sementara itu kebanyakan wanita senantiasa menginginkan laki-laki yang mapan, disini memungkinkan terjadinya persaingan yang cukup besar karena banyak wanita yang menginginkannya. Pada kondisi ini kebudayaan apapun tidak mampu mempertahankan nilainya, bahwa laki-laki merupakan figur keterbukaan dan wanita merupakan figur keetertutupan dalam menyatakan cinta.
Dalam analisis ini kita dapat melihat kebesaran ajaran islam bahwa Allah dan Rasulnya tidak memberikan ketetapan secara abadi tentang subyek keterbukaan dan ketertutupan, akan tetapi hal itu dapat diserahkan kepada hamba-hambanya. Dengan akal yang sehat dan tuntunan dasar(wahyu) akan mampu menetapkan hukum-hukum tersebut. Mungkin pada masa dahulu adalah mayoritas sebagai figur keterbukaan.
Kehinaan dan kemuliaan bagi seorang mislim bukan ditentukan oleh keberanian dan ketakutan menyatakan perasaan cinta, tetapi siapa yang paling cepat mengikuti ajaran Allah walaupun akan bertentangan dengan kebudayaan yang ada.
Masa Transisi
Perubahan suatu kebudayaan tidak berjalan secara spontan dan langsung, tapi seringkali secara evolusi(perlahan-lahan) dalam masa yang cukup panjang, bahkan masih melewati masa transisi. Pada masa ini(transisi), nilai-nilai yang baru belum diterima total, banyak masyarakat yang masih mengutamakan nilai-nilai lama. Biasanya bukan berhubungan dengan pemikiran tetapi berkaitan dengan perasaan(tidak enak atau canggung). Demikian bila tejadi perubahan nilai-nilai budaya dari laki-laki yang dipandang sebagai subyek keterbukaan dalam menyatakan cinta diganti dengan wanita sebagai subyek keterbukaan.
Bagi wanita muslim, hendaklah tanggap tehadap situasi ini sehingga tidak tergesa-gesa atau demonstratif untuk menyatakan perasaan cinta terhadap laki-laki muslim. Kecuali sesudah melewati masa transisi atau terhadap mereka yang sudah mengikuti budaya baru. Apabila hal ini tidak diperhatikan, terutama ditunjukkan pada orang-orang yang belum menerima perubahan, mereka akan dinilai sebagaimana nilai kebudayaan sebelumnya(apabila budaya sebelumnya menilai kehinaan atau kerandahan bagi wanita islam yang menyatakan cinta pada orang laki-laki, maka ia akan akan dipandang seperti itu). Untuk menilai seseorang telah mengikuti budaya lama atau baru. Sebelumnya dapat dilakukan dengan dialog.
Keadaan umat islam hari ini berada di daerah bayang-bayang arus liberalisme, dimana kebebasan seks, ekonomi, studi terbuka, sedangkan pemahaman umat islam terbagi 2 macam: pertama, melarang komunikasi cinta, ikatan penikahan cukup dengan perantara orang yang dipercaya. Sedangkan yang lainnya masih memperbolehkan adanya komunikasi cinta selama berada dalam batas-batas yang ditentukan syara’. Pada pemahaman ini terbagi 2 macam, pertama wanita menabuhkan wanita dalam menyatakan cinta pada kaum laki-laki, sedangkan yang kedua memberikan status kewajaran bagi wanita muslim dalam menyatakan cinta.
Kesiapan Langkah
Untuk menghadapi situasi ini diperlukan bagi wanita muslim kejelian dan kepandaian menempatkan diri pada situasi pada dua pemahaman yang masih belum dapat dikompromikan. Idealnya wanita muslim bila menyatakan perasaan cinta hendaknya mengikuti budaya yang ada. Hal ini bukan tindak kemunafikan tapi justru merupakan kebijaksanaan, karena pada prinsipnya dua tindakan tersebut tidak dilarang atau diwajibkan oleh Allah. Pada sisi lain yang perlu diperhatikan adalah dominasi perasaan wanita.
Wanita dengan organ tubuhnya dan penempatan kedudukannya dalam rumah tangga, membawa kadar perasaan sangat dominan. Penyaluran potensi perasaan tersebut sering tidak terkendali. Keadaan ini dapat butuh perhatian penjagaan secara ketat, agar tidak berlebihan dalam menyalurkan dan menyatakan cinta kepada seorang laki-laki, bilamana telah datang masa dimana wanita harus lebih dulu mengutarakan perasaan cintanya. Mempersiapkan diri menerima perasaan kecewa, bila cintanya ditolak. Ia sebaiknya mempunyai kemampuan logika yang tinggi, dengan didasari dengan pengetahuan psikologis, sehingga membuat penilaian terlebih dahulu terhadap laki-laki yang dicintai, apabila dipandang laki-laki tidak mencintai, tidak perlu perasaan cintanya disampaikan.
Laki-laki muslim ketika menerima cinta seorang wanita hendaknya dapat berperilaku seperti Rasul, terlebih dahulu beliau memperhatikan dengan seksama. Apabila tidak berkenan hendaknya mengutarakan secara bijaksana. Tidak mengecam sebagai wanita murahan, agresif dan membabi buta atau menyampaikan diluar, bersikap sinis dan menjauhkan diri secara frontal. Hal itu tentu menyakitkan dan memalukan saudara kita sendiri. Padahal Allah sangat menekankan pada Hambanya agar diantara mereka menghargai, melindungi, dan saling menjaga dari gangguan orang lain. Alangkah nistanya yang diberi tugas menjaga dan melindungi justru memberi gangguan.

Sholat, Aktifitas Ibadah Berorientasi Sosial

(Bagian 1)
Iskandar al-Warisy
Buletein Ulul Albab No.09/Th.III/Desember 1992

Tiap-tiap perintah baik dari Allah atau manusia senantiasa memiliki sasaran dan tujuan. Sebagai contoh:
Orang tua yang memerintahkan anaknya sekolah pasti memiliki tujuan, diantaranya ialah agar mereka mejadi orang terpelajar, ilmuan, dan dengan keilmuannya itu kelak dapat menjadi orang yang mampu menghadapi problema kehidupan. Tujuan ini apabila tidak disadari anaknya, akan berakibat ia mengalihkan tujuan tersebut dan memandang sekolah hanya merupakan kegiatan refreshing atau memperbanyak teman atau juga bersenang-senang, sehingga ia akan menemui kesulitan dan berbahaya apabila ia melalaikan perintah tersebut.
Seorang guru memerintah kepada siswanya agar mengikuti latihan bela diri, tujuannya disamping baik untuk kesehatan juga dapat digunakan pembelaan diri apabila dianiaya orang lain. Apabila siswa tidak menyadari tujuan tersebut, lalu ia bertujuan lain dan memandang latihan bela diri dapat menaklukkan rekan-rekannya dengan demikian ia dapat meningkatkan kewibawaannya. Akibatnya, bukan kebaikan yang didapatkannya melainkan kecelakaan meskipun ia tetap menjalankan latihan bela diri.
Demikan juga Allah memerintahkan SHALAT kepada hamba-hambaNya, pasti memiliki tujuan. Seharusnya bagi orang-orang beriman yang diperintahkan menjalankan shalat harus menyadari tujuan-tujuan perintah shalat dan tidak merubah tujuan tersebut, agar dapat menjadi orang-orang yang baik sebagaimana yang diharapkan atau dibentuk Allah, bukan orang baik yang diharapkan manusia, sebab kekeliruan memahami tujuan perintah shalat akan membawa bencana. Pengetahuan tujuan shalat, berguna untuk mengontrol, melakukan evaluasi terhadap shalat kita, apabila mengalami pergeseran tujuan, atau tidak memberikan suatu arti kepada kita.
Sekarang ini banyak sekali orang shalat tapi memiliki tujuan yang berbeda-beda. Bahkan ada yang memandang shalat itu seperti halnya islam itu sendiri, dengan berdasarkan pada teks hadits:”apabila baik shalatnya maka baik seluruh amalnya. Begitu pula sebaliknya, apabila jelek shalatnya maka jelek pada seluruh amalnya”. Kalau dalam islam cukup hanya menjalankan shalat saja, Allah tidak perlu menurunkan petunjuk sampai mencapai 6666 ayat dalam masa 23 tahun.
Lebih EXTREM lagi ada yang menempatkan nilai shalat sebagai “barometer” menentukan kebaikan dan keburukan pribadi atau organisasi islam.
Pribadi atau organisasi yang memperhatikan shalat, dan baik dalam pengerjaannya, dan sering melakukan shalat-shalat sunnah niscaya baiklah shalatnya. Sebaliknya bila tidak demikian maka buruklah mereka. Penulis pernah memberikan bahan pemikiran terhadap orang-orang yang berpaham seperti itu dengan mengemukakan ”Allah memerintahkan hamba-hambaNya memberikan hartanya kepada orang miskin dan membela agama Allah dengan apa yang dimiliki baik dengan pengetahuan ekonomi, keguruan, atau bahkan kesehatan atau keahlian membuat persenjataan. Apakah orang-orang yang baik shalatnya. Lalu dengan kebaikan shalatnya mampu menjalankan perintah-perintah tersebut? Apakah kebaikan shalatnya mampu mendatangkan harta benda, menembuhkan penyakit jantung ’coroner’. Memperbaikii inflasi dan mengusir musuh-musuh Allah”.
Jadi shalat bukan barometer yang menentukan kebaikan dan keburukan pribadi seorang muslim. Kebaikan seorang muslim ditentukan kemampuan mereka dalam menentukan amal-amal yang dibutuhkan dirinya dan pada masyarakat masa itu.
Untuk mengetahui tujuan shalat ada empat. yaitu:
1. Mengetahui perintah umum, perintah yang mendasari shalat.
2. Kondisi melatar belakangi diperintahkannya shalat.
3. Melihat informasi tertulis tentang tujuan shalat.
4. Memahami informasi tertulis tentang tujuan shalat-shalat dengan menghubungkan kepada perintah yang mendasari shalat.
Perintah umum yang mendasari shalat
Perintah-perintah profesional, yang berasal dari satu sumber, senantiasa menjadi satu kesatuan sistem, satu sama lain saling berhubungan dan menunjang, tidak berdiri sendiri-sendiri. Kita dapat menyaksikan peraturan-peraturan menteri pendidikan. Dengan didorong oleh keinginan mencerdaskan bangsa, disusunlah peraturan yang berhubungan dengan kurikulum pengajaran, pendidikan guru dan ketertiban-ketertiban di sekolah, mulai dari seragam, uang SPP, kegiatan organisasi, ekstra kurikuler, dll. Semua itu mengarah kepada peningkatan kecerdasan, setiap unsur dapat menghambat peningkatan kecerdasan senantiasa ditinggalkan.
Demikian juga perintah shalat, sebenarnya merupakan subsitem dari semua perintah Allah, pada ujungnya memiliki dasar, merupakan landasan berdirinya semua sistem termasuk shalat. Kalau pada pendidikan, kehendak mencerdaskan bangsa merupakan landasan berdirinya semua peraturan pendidikan, maka perintah Allah yang paling mendasar ialah perintah menjalankan kehidupan KHALIFAH FIL ARDY. Mengurusi kehidupan di bumi hingga tersusunlah kehidupan THOYYIBAH.
Untuk menjalankan misi Kholifah fil ardy, menciptakan masyarakat thoyyibah, tidak mudah. Tantangan pertama adalah ilmu pengetahuan, saat tertentu Allah memberi petunjuk pengetahuan (wahyu) bagaimana cara membangun masyarakat thoyyibah dan mengahadapi tantangannya. Kita dapat menyaksikan kisah-kisah kehidupan rasul dalam membangun masyarakat thoyyibah. Mereka banyak menemui penderitaan dan kesengsaraan. Terkadang hampir putus asa, seperti nabi yunus, yang meninggalkan kaumnya, sebelum Allah memerintahkannya. Perintah-perintah Allah dalam membangun kehidupan thoyyibah sangat banyak diantaranya seperti; perintah menuntut ilmu, menegakkan sholat, zakat. Puasa, haji, dakwah, tarbiyah bahkan berperang melawan musuh. Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa:
1. Perintah kholifah fil ardy, mengurusi kehidupan thoyyibah merupakan landasan dasar berdirinya semua perintah Allah lainnya.
2. Shalat merupakan subsistem dari perintah kholifah fil ardy dan berhubungan dengan perintah-perintah Allah lainnya dalam membentuk keberhasilan tugas kholifah fil ardy.
3. Shalat berorientasi(betujuan) atau merupakan komponen(unsur) pembentuk masyarakat thoyyibah. Dengan kata lain, aktifitas IBADAH SHALAT BEORIENTASI SOSIAL, dalam bentuk pembangunan psikis baik secara pribadi dan sosial. Dengan demikian pribadi penegak kholifah fil ardy, tanggap, peka dan peduli terhadap keaadan sekitar, dimana tempat itu merupakan medan karir orang-orang islam. Sebailknya sholat yang buruk adalah sholat yang melahirkan pribadi-pribadi yang menjauhkan diri dari masyarakat, menjauhkan diri dari semangat dan usaha pembangunan masyarakat thoyyibah shalatnya dipandang sebagai tujuan bukan sebagai alat perjuangan membentuk masyarakat thoyyibah, mereka menyatukan diri, bermeditasi menumpahkan seluruh perhatian hidupnya hanya dalam shalat, akibatnya mereka ketinggalan dengan orang-orang kafir dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga mereka senantiasa diatur dan ditentukan oleh orang-orang kafir yang maju dalam persenjataan.

Kondisi Yang melatar belakangi perintah shalat
Sebagaimana telah tertulis dalam sejarah bahwa perintah shalat, tidak melewati malaikat jibril melainkan langsung dari Allah sendiri lewat perjalanan isro’ mi’roj. Peristiwa itu terjadi setahun sebelum nabi Muhammad hijrah ke madinah Jadi selama 12 tahun setelah wahyu pertama diturunkan, nabi muhammad dan sahabat-sahabatnya tidak mengerjakan shalat. Beliau hanya menjalankan perintah Allah tentang membaca dan mengkaji lingkungan alam dan manusia, serta mendakwahkan wahyu Allah yang berhubungan dengan informasi realitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan alam, kehidupan material maupun alam supranatural serta pemecahannya. Ketika beliau mendakwahkan konsep-konsep kemasyarakatan dari Allah, khususnya tentang keesaan Allah, sistem pemujaan, konsep kpribadian, dan hukum-hukum sosial, banyak menemui hambatan dan tantangan dari masyarakat jahiliyah. Mulai dari tantangan konsep pengetahuan, pemboikotan ekonomi, penyiksaan fisik bahkan pembunuhan. Untuk menghadapi tantangan tersebut banyak sekali Allah memberikan bimbingan diantaranya meningkatkan ukhuwah, saling menolong dengan memberikan harta yang dimilikinya, perintah untuk bersabar Dll. Sehingga pada suatu saat orang-orang yang banyak menolong diantaranya Khodijah, Abu Tho,ib meninggal dunia, sejarah memandang tahun tersebut sebagai tahun kesedihan. Nabi muhammad sangat sedih. kekuatan besar yang selama ini banyak membantu dan melindungi ancaman-ancaman orang-orang kafir telah tiada. Pada saat itu Allah memerintahkan Muhammad untuk SHALAT.
Dilihat dari kronologinya, pristiwa-peristiwa yang melatar belakangi turunnya perintah shalat ada beberapa, diantaranya ialah
1. Umat islam memperjuangkan islam saat itu mengalami puncak penderitaan kerasnya perlakuan orang kafir terhadap umat islam
2. Nabi Muhammad mengalami pukulan jiwa yang sangat hebat, akibat kematian dari pendukungnya yaitu khodijah dan Abu tholib.
Dari fakta tersebut dapat dihubungkan bahwa shalat merupakan TERAPI, sarana pengobatan tehadap keaadaan jiwa umat islam yang mengalami kelumpuhan akibat tantangan menegakkan KHOLIFAH FIL ARDY, lebih konkretnya dapat dilihat pada praktek shalat. Dengan terapi itu diharapkan kejiwaan umat islam yang memperjuangkan islam agar kembali dengan memahami hukum-hukum sunnatullah perjuangan. Setelah umat islam menjalani shalat, kepercayaan mereka tumbuh kembali, mereka terus berdakwah dan tidak segan-segan meninggalkan tanah kelahirannya, berhijrah memelihara keimanan dari ancaman orang-orang kafir, di madinah mereka dengan giat membangun tanah baru, bekerja sama dengan orang-orang ahli kitab, lalu nabi dan sahabat-sahabatnya banyak terlibat dalam peperangan dengan orang-orang kafir, sampai mereka mendapatkan kemenangan besar dengan menaklukkan makkah.
Itulah shalat yang baik, shalat yang benar, dengan shalat itu mampu menghapus penderitaan dan rongrongan kejiwaan yang dapat membawa kepada rasa keputus asaan, meninggalkan arena perjuangan, bahkan mampu melahirkan pribadi-pribadi kemsyarakatan, aktif dalam berbagai kegiatan sosial yang dipandang memberikan potensi terhadap kebesaran islam. Orang shalat yang tidak melahirkan pribadi seperti Rasul dan sahabat-sahabatnya, shalatnya perlu dipertanyakan, hampir dapat dipastikan kesesatannya.meskipun dia kelihatan khusyuk dan baik dalam menjalankan shalat-shalat sunnah. Karena kesesatan atau penyakit itu Banyak variabel, ada yang berhubungan dengankegiatan praktisnya dan ada yang berhubungan dengan menempatkan tujuan shalat. Tujuan sesat meskipun pelaksanaanya benar tidak akan sampai tujuan.
Kesimpulan
Ditinjau dari aspek kronologisnya tujuan shalat adalah menyembuhkan kejiwaan orang-orang beriman dari rasa kejenuhan, keputus asaan, kesedihan akibat lingkungan sekitarnya, dan beratnya menjalankan misi sebagai Khalifah Fil Ardy.

4 Des 2010

Eksistensi Kepemimpinan Dalam Sejarah Pembangunan Masyarakat Tauhid

skandar al-Warisy
Buletin Ulul Albab No.03/Th.VII/April 1996

Dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 36.menyebutkan “dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat(untuk menyerukan) sembahlah allah dan jauhilah thogut. . “
Bani israil senantiasa dibimbing dan dipimpin rasul pilihan dan nabi. Dan bahkan pernah pada suatu masa terdapat beberapa orang rasul, seperti dizaman nabi ibrahim sekitar 4 yaitu nabi ibrahim sendiri, putranya nabi ismail, ya’kub, ishaq, luth.
Umat islam di arab yaitu periode pertama juga diberikan seorang pemimpin yang disebut rasul. ketika beliau meninggal, para sahabat-sahabatnya menggantikan kedudukan beliau. Para rasul-rasul itu hidup di tengah-tengah umat. Mereka membimbing, memimpin, memberikan motivasi, melakukan pengajaran. Mengkoordinasi dalam menghadapi tantangan orang-orang kafir. Sehingga lahirlah masyarakat yang tangguh, ketika beliau meninggal, lahirlah generasi baru, para rasul yang berhasil membangun kader-kader penerus sebagaimana kebijaksanaan yang diterapkan oleh rasulnya, biasanya mereka berhasil meneruskan kemajuan umat, seperti peralihan nabi daud ke nabi sulaiman. Nabi ibrahim ke nabi ismail, nabi muhammad SAW kepada sahabatnya abu bakar, sementara mereka yang kurang bagus dalam kaderisasinya, biasanya setelah ditinggalkan oleh nabinya mereka kembali menjadi jahiliyah, seperti kaum musa yang ditinggal nabi musa beberapa waktu. Mereka kembali menyembah anak sapi. Dari sekilas perjalanan sejarah diatas, bisa diajadikan pelajaran bahwa kemajuan umat manusia(tauhid) senatiasa memiliki seorang tokoh yang hidup ditengah-tengah umatnya, ia membimbing, memimpin, mengarahkan, menengahi konflik dan memberikan motivsi-motivasi kehidupan, tidak ada umat tauhid yang berkembang dengan pesat tanpa kehadiran seorang tokoh dari kalangan mereka sendiri. Umat islam hari ini, telah ditinggalkan oleh nabinya dan para penggantinya(khalifah), sehingga tidak sedikit umat islam yang tidak memiliki tokoh-tokoh pembimbing yang hidup ditengah –tengah umatnya. Jalan ini, tentu akan membawa kepada kelemahan dan kelumpuhan umat islam. oleh karena itu, perlu bagi umat islam untuk mencetak kader-kader pengganti rasullah SAW, yang bertugas sebagaimana rasullah menjalankan tugas sosialnya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan umat islam dapat hidup sepeti tanpa dosa dan tanpa memiliki beban moral ketika tidak mengikatkan diri terhadap seorang pemimpin diantarnya ialah 1.kekeliruan memahami rukun islam. 2 kekeliruan memposisikan nabi muhammad. Dalam beberapa hadits menyebutkan syarat menjadi orang islam ialah membaca syahadat, mengakui bahwa allah menjadi satu-satunya illah dan muhammad SAW sebagai utusannya, lalu mereka menjalankan shalat, puasa, zakat, dan haji bilamana memiliki kemampuan. Orang yang sudah menjalankan syarat tersebut tidak ada syarat lainnya termasuk mengikatkan diri pada seorang pemimpin umat pada zamannya. Kalau kita memperhatikan lebih dalam tentang ikrar syahadat pengertiannya tidak simpel tetapi memiliki pengertian yang luas dan memiliki konsekuensi yang tinggi yaitu mengikuti seluruh ajaran wahyu dan mengikuti sunnah rasul, salah satu ajarannya dan sunnahnya ialah dengan mengabdikan diri pada allah mekanisme kepemimpinan.
Umat islam banyak yang memandang nabi muhammad merupakan utusan allah bagi umat islam, sampai akhir zaman. Berdasarkan pada al quran surat An-Nisa’ ayat 79, allah hanya menyebut muhammad SAW sebagai utusan allah bagi seluruh umat manusia, bukan sebagai pemimpin umat manusia, karena seorang pemimpin fungsional ialah seorang sosok manusia yang hidup tengah-tengah umat untuk melakukan pembangunan masyarakat. Jadi nabi muhammad SAW sebagai pemimpin bagi umat pada zamannya. Ketika beliau meninggal bukan lagi menjadi pemimpin, hal itu tidak mungkin terjadi, abu bakar tampil menjadi pemimpin umat pada zamannya. Setelah abu bakar meninggal, selesailah masa kepemimpinannya. Kemudian umat islam pada waktu itu mengangkat umar bin khattab sebagai penggantinya, demikian seterusnya sampai masyarakat hari ini. Kepemimpinan umat senantiasa diganti.
Berdasarkan uraian diatas bahwa kerasulan muhammad SAW bersifat abadi dan berlaku sepanjang masa untuk seluruh umat manusia sejak abad ke-6 sampai hari kiamat. Sedangkan kepemimpinan beliau, hanya sebatas hidupnya, dan sunnah yang ditinggalkannya berfungsi sebagai uswah atau pelajaran bagi generasi islam dibelakangnya. Pandangan ini sesuai dengan firman allah, surat yusuf ayat 111 berbunyi:”sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (nabi-nabi) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. . “
Jadi tiap-tiap generasi islam, senantiasa membutuhkan pemimpin-pemimpin untuk mengkoordinasi, membimbing, memberikan pelajaran kepada masyarakat, dengan pemandangan ini akan lebih mempercepat kesuksesan, karena tiap-tiap permasalahan masyarakat, tidak bersifat konstan, melainkan mengalami perubahan, semakin maju perkembangan pengetahuan dan teknologi akan lebih meningkatkan permasalahan, yang hampir bisa dipastikan tidak terdapat pada masyarakat terdahulu. Disamping itu manusia adalah manusia rasional, juga bersifat emosional, perilakunya banyak ditentukan oleh kedua faktor tersebut, dengan demikian ia tidak bisa hanya diberi petunjuk-petunjuk secara rasional melewati tulisan-tulisan, melainkan perlu pemecahan secara emosional. Disini peran pemimpin sangat mutlak untuk terlibat ditengah-tengah mereka, melakukan antisipasi emosional.
Bilamana umat islam tidak memiliki pemimpin, cukup dengan kitab Al-quran dan kitab Al- hadits, niscaya jalan kesuksesan akan tertutup. Sikap ini ibarat pemerintah yang membuat rambu-rambu lalu-lintas jalan raya untuk menghindari kemacetan tapi tidak mengangkat dan menerjunkan polisi kejalan raya. Bagaimana canggihnya rambu-rambu tersebut, ketatnya mereka melakukan propaganda tentang nilai-nilai ketertiban lalu-lintas, niscaya tidak akan berhasil tanpa kehadiran polisi lalu-lintas di jalan raya, yang langsung membimbing, mengarahkan dan bila perlu menghukum terhadap pelanggaran karena dorongan emosional.
Pengakuan kerasulan muhammad SAW bagi seluruh umat, berfungsi untuk pembentukan identitas, yang bersifat internasional, khususnya pada nilai-nilai praktis yang tidak mungkin disampaikan lewat al quran, misalkan pelaksanaan ibadah shalat, haji atau puasa. Dengan adanya kesamaan identitas, kekuatan umat muslim juga akan bersifat internasional. Sedangkan pemimpin-pemimpin baru yang ditunjuk, berfungsi untuk mengkoordinasi, membimbing dan mengarahkan jalannya ibadah itu di lapangan dimana masing-masing daerah tidak sama.
Dimaksudkan pemimpin disini bukan sebagaimana abu bakar mangganti rasulullah SAW yaitu sebagaimana pemimpin umat secara internasional (khalifah) atau sebagai presiden di suatu negara, melainkan sebagai pemimpin umat pada wilayah-wilayah yang kecil, seperti rasul-rasul pada zaman nabi ibrahim, dimana ruang lingkupnya sangat kecil, prinsip utamanya menyeru umat manusia mengabdikan diri pada allah lewat mekanisme berjamaah.
Kisah pengangkatan thalut sebagai pemimpin umat di zamannya dapat dijadikan untuk memilih pemimpin umat dimasa sekarang, yaitu pengetahuan yang luas dan fisik yang kuat, dengan kedua dasar tersebut, beliau berhasil mengalahkan musuhnya(q.s;2:247) kalau dihubungkan dengan permasalahan sekarang tidak berkaitan dengan peperangan, pemimpin masa sekarang ialah mereka tetap memiliki pengetahuan yang luas, khususnya pengetahuan yang berkaitan dengan permasalahan umat sekarang, karena dengan pengetahuan tersebut akan dapat memecahkan berbagai permasalahan. Orang tidak berilmu, tidak mungkin dapat bertindak benar apalagi sampai menjadi pemimpin, sedangkan faktor kedua mereka memiiki potensi baik dari segi bakat, pemikiran, material atau kedudukan yang dipandang dapat menjadi sarana atau penunjang melaksanakan perbaikan umat.

Lailatul qadr Malam berderajat seribu bulan: Suatu kesalahan pemahaman

Iskandar al-Warisy
Buletin Ulul Albab No.3/Th.VI/mei 1994

Sebagian besar umat islam memiliki kepercayan, bahwa bahwa pada 10 hari akhir bulan ramadhan, dihari yang ganjil, turun malaikat dan ruh ke alam dunia di malam hari sampai terbit fajar sebagai rahmat bagi mereka yang berpuasa dan tidak tidur dengan memberikan derajat seribu bulan=30.000 hari, kepercayaan itu bersandar pada teks Alquran surat Alqadr ayat 1-5. Oleh karena itu umat islam pada malam akhir ramadhan, melakukan i’tikaf di masjid (semalam suntuk tidak tidur atau melekan untuk beribadah, ). Ada yang sampai melakukan cuti kerja, semata-mata ingin mendapatkan pahala seribu bulan.
Kuatnya dorongan i’tikaf itu karena ada yang mematematiskan derajat seribu bulan dengan sistem kelipatan. Orang yang mendapatkan lailatul qadr saat shalat tahajjud, sama dengan dilakukan diluar hari itu selama seribu bulan atau 30ribu hari atau 83 tahun 4 bulan.
Sehingga setiap malam-malam ganjil, masjid-masjid di surabaya dimalam hari layaknya seperti pasar malam.
Dalam beberapa hadits juga memberitahukan bahwa rasul dan sahabat-sahabatnya pada hari-hari tersebut juga melakukan i’tikaf.
Koreksi
Surat al-qadr yang dijadikan landasan pemikiran diatas. menurut pandangan penulis, akibat keliru menafsirkannya. Isi surat tersebut lengkapnya sebagai berikut:(diterjemahkan oleh departemen agama )
1. Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.
2. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
5. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

Kalau dilihat secara sekilas dari terjemahan teks tersebut, sepertinya tidak ada permasalahan dengan aqidah diatas, tapi jika diperhatikan dengan seksama ada beberapa kejanggalan, diantaranya ialah:
1.Menafsairkan kata ganti Hu/nya dengan al-quran
2.Hilangnya pokok bahasan dalam hal ini kata gantii HU/NYA pada ayat 2 dan 3. Sehingga yang menjadi objek pembahasan ayat 2 dan 3 ialah lailatul qadr atau malam kemuliaan. Akibatnya, yang berderajat 1000 bulan bukan yang diturunkan melainkan malam qadr-nya.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah SAW pernah menyebut-nyebut seorang Bani israil yang berjuang di jalan Allah mengguanakan senjatanya selama 1000 bulan terus-menerus. Kaum muslimin mengagumi perjuangan orang tersebut. Maka Allah menurunkan surat Alqadr bahwa 1 malam lailatul qadr(yang diturunkan oleh allah pada malam lailatul qadr) lebih baik dari perjuangan Bani israil selama seribu bulan. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Al Wahidi yang bersumber dari mujahid.
Saya melihat dibalik kekaguman kaum muslimun terhadap tokoh yang dkisahkan nabi, ada seberkas keresahan, bahwa mereka tidak akan dapat menandingi mereka dalam mendapatkan amal shaleh, karena usia mereka rata-rata 60 tahun sedangkan umat terdahulu umurnya ada yang seribu tahun. Lalu allah memberi petunjuk yang tertulis pada surat al qadr, apabila mereka mau melaksanakan instruksi surat al qadr, niscaya yang dilakukan mereka lebih baik dari 1000 bulan.
lalu apakah inti petunjuk tersebut ? yaitu melaksanakan yang diturunkan allah pada malam lailatul qadr, malam pertama diturunkannya wahyu, dimana allah menggambarkannya pada waktu itu diturunkannya malaikat-malaikat sebagai saksi diturunkannya wahyu baru sebagai pengganti atau pembaru dari wahyu-wahyu sebelumnya. dijelaskan pada ayat 4 dan 5 dari surat al qadr.
sebagaimana telah kita ketahui bahwa wahyu pertama yang diturunkan Allah ialah SURAT AL ALAQ ayat 1-5, jadi kata hu pada surat Alqadr ayat 1 bukan Alquran secara umum yang diterjemahkan oleh Departemen Agama, melainkan surat Al Alaq.
Pada ayat ke-2 Allah, memberikan rangsangan berpikir. taukah kamu apakah potensi yang diturunkan pada malam lailatul qadr itu ? lalu allah memberitahu bahwa potensi surat Al alaq yang diturunkan pada malam lailatul qadr itu lebih baik dari 1000 bulan.
Terjemahan departemen agama, tidak memasukkan pokok bahasan dalam hal ini ialah surat al alaq pada ayat ke-2 dan ke-3, akibatnya yang menjadi inti pembahasan ialah MALAM LAILATUL QADRNYA, padahal malam lailatul qadr pada ayat 1,merupakan penjelasan bukan pokok bahasan. Kekeliruan ini mendorong umat islam tidak menggali surat al alaq melainkan menggali apa malam lailatul qadr itu. Lalu ditafsirkan seperti pemahaman diatas, malaikat turun dari langit pada akhir bulan ramadhan dengan mengabsen orang yang tidak tidur untuk dilipat pahalanya.
Ayat sejenis itu dalam al quran sangat banyak, seperti terrulis pada surat at taghaabun ayat 17 berbunyi:“Jika kamu meminjamkan kepada allah pinjaman yang baik, niscaya allah akan melipat gandakan”. Bilamana kita bersandar pada teks murni akan melahirkan penafsiran bahwa allah perlu pinjaman dari manusia. Hal itu tidak mungkin. Arti konteksnya ialah bukan Allah yang diberi pinjaman, melainkan orang-orang yang fakir dan miskin.
Relevansi surat al alaq
Potensi surat Al alaq sebagai pelipat amal 1000 bulan, dapat dipahami karena isi surat itu mengandung penggerak kemajuan yang tidak ada habis-habisnya. Isinya sebagai berikut:
1.Bacalah, terhadap sifat-sifat(nama) penguasamu yang telah menciptakan.
2.Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.Bacalah dan (niscaya kau dapatkan) penguasamu zat yang maha pemurah.
4.Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam.
5.Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.
Nabi muhammad ialah manusia yang tidak dapat membaca dan menulis. Tidak mungkin Allah yang Maha Tahu memerintah apa yang tidak dapat dilakukan. dengan demikian membaca disana harus diartikan engamati, melakukan penelitian terhadap sifat-sifat penguasamu. dalam hal itu ialah Allah lewat semua ciptaannya, lebih simpelnya. iqra’ adalah perintah meneliti terhadap lingkungan alam, manusia dan allah. Dengan penelitian itu akan diketahui, Allah menciptakan manusia dari segumpal darah, mengetahui kemurahan allah, tidak bersifat dogma melainkan lewat analisis rasional. Ayat 4 dan 5, allah memberitahukan bahwa penelitian data lapangan lebih efektif dibanding penelitian menggunakan alat pena atau computer.
Kemampuan, kecepatan gerak orang mengetahui sifat alam dengan yang tidak mengetahui dalam mempotensikan sumber daya alam perbandingannya bisa 1:30.000 baik secara kuantitas maupun kualitas. Kita dapat mengambil contoh, orang islam pedalaman yang tidak mengenal teknologi elektronik berkeinginan menyampaikan ayat kursi kepada penduduk indonesia yang berjumlah 180 juta, bila 1 hari ia menyampaikan pada 1000 orang, nixcaya jumlah itu dapat ditempuh pada 180.000 hari = 60.000 bulan = 500 tahun. Bagi mereka yang mengenal pengetahuan dan menggunakan teknologi televisi akan dapat dicapai 1 jam atau 1 hari atau paling lama 1 bulan. Perbandingan orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui teknologi, 1:6.000 bulan. Demikian juga pada berbagai bidang aktifitas kehidupan, pengobatan, pengajaran, transportasi, penyelesaian perang. Orang yang mengenal lingkungannya lebih berkualitas dibanding dengan mereka yang tidak mengetahui.
Beberapa hadits banyak disebutkan, bahwa ilmuan dengan para ahli ibadah seperti cahaya bulan dengan bintang.
Dengan mempelajari surat al alaq, umat islam akan dapat mengalahkan kualitas amaliah yang dilakukan oleh umat terdahulu, walaupun secara usia dan semangat lebih tinggi dari umat terdahulu.
Keliru besar orang yang ingin mendapatkan derajat 1000 bulan dengan menunggu pada bulan ramadhan akhir, langkah tepat bila ingin mendapatkan derajat 1000 bulan ialah dengan terus mengkaji realitas alam disekitar kita dari hasil pengetahuan tersebut, kita terapkan untuk pemecahan masalah sosial. Dengan demikian derajat 1000 bulan tidak hanya pada bulan puasa saja. Melainkan pada bulan-bulan lainnya dan tidak hanya diperoleh oleh umat islam saja, melainkan orang-orang diluar orang islam juga berhak menyandang derajat 1000 bulan bila mengkaji dan mengetrapkan di lingkungan alam. kenyataan ini dapat dibuktikan dengan kebesaran Rusia, Amerika dan negara-negara eropa dibandingkan dengan umat islam dalam masalah teknologi.
Dalam pemikiran ini, kami menyimpulkan bahwa i’tikaf yang dilakukan oleh nabi pada bulan ramadhan, tidak hanya dalam rangka mendapatkan derajat 1000 bulan melainkan dalam rangka perwujudan rasa syukur mengenang sejarah besar tentang turunnya al quran atau bulan ini dipandang oleh nabi sebagai bulan yang efektif ditinjau dari suasana sosial dan psikis untuk melkukan iqra’